Aceh Tamiang- Aceh- Devisit anggaran perimbangan keuangan yang terjadi di Pusat dan Daerah, berdampak nyata terhadap 14 (empat belas) paket pekerjaan proyek di Bina Marga Pemkab Aceh Tamiang hingga tidak dapat dibayarkan.
Akibatnya, para Anemer yang telah dirugikan merasa sangat kecewa terhadap kinerja Pemerintahan setempat, mereka menganggap Pemkab Aceh Tamiang sangat tidak Profesional.
Ketidakmampuan membayar sejumlah pekerjaan paket proyek tersebut, diakui Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Aset Daerah (DPPKAD), Yusriati, SE,M.Si, Ak, CA, melalui Kuasa BUD pada DPPKAD setempat, Three Eka Indra Bakti.
Mengingat dana bagi hasil migas antara pusat dan Aceh, tidak mencapai target seperti yang diharapkan. Seperti yang sedang dialami kabupaten Aceh Tamiang, sehingga pencapaiannya mengalami devisit.
"Kejadian itu baru kami terima dari Jakarta, pada tanggal 3 Desember 2019. Penganggaran belanja untuk dana bagi hasil tahun 2019, adalah Rp 116. 874.880.000. Sedangkan total penyaluran hanya mencapai Rp 77.487.771.250, sehingga terjadi kekurangan kas sejumlah Rp 39.387.108.750.
Dan ini lah yang membuat ke 14 proyek tersebut tidak bisa dibayar, karena dikas memang sudah tidak ada uangnya lagi. Meski demikian, kami akan menyelesaikan pembayaran pada APBK - P tahun 2020 mendatang," terang Indra.
Sementara, dilansir dari para Anemer,mereka mengatakan,sejak berdirinya Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang (dimekarkan dari Kabupaten Aceh Timur, tahun 2002), baru kali Pemkab setempat, dibawah kepimpinan Bupati H. Mursil, uang proyek milik sejumlah rekanan (kontraktor) yang menyelesaikan proyek Anggaran Pendapatan Belanja Kabupaten (APBK) Aceh Tamiang, tahun 2019, tidak bisa dibayar oleh Kantor Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Aset Daerah (DPPKAD) setempat.
"Ada 14 paket proyek tender APBK Aceh Tamiang, tahun 2019, di bagian Binamarga pada Dinas Pekerjaan Umum dan Perumah Rakyat (PUPR) yang dikerjakan oleh sejumlah rekanan (kontraktor),
"Pekerjaan-pekerjaan tersebut tidak bisa dibayar oleh Kantor DPPKAD setempat,Kemana uang itu, kami pun tidak tau," terang salah seorang rekanan yang tak ingin disebut namanya di Karang Baru, Senin, 29 Desember 2019, yang mengaku dua proyek tender yang selesai ia kerjakan, tidak dibayar oleh DPPKAD.
Ditambahkan rekanan itu, dua paket proyek yang dikerjakannya itu jumlah anggarannya mencapai Rp 1,7 Miliar,
Akibat adanya hal itu,dirinya merasa dirugikan baik secara moral maupun meteri, sehingga berdampak pada hilangnya kepecayaan para pekerja dan terganggunya managemen keuangan pada perusahaan miliknya.
"Dirugikan secara moralnya, karena banyak gaji pekerja yang belum saya bayar, sehingga saya malu pada para pekerja. Dirugikan secara materi, ya sudah pasti, modal yang saya keluarkan begitu besar nilainya belum kembali. Sehingga managemen keuangan Perusahaan saya menjadi tidak sehat," keluhnya.
Rekanan lain yang juga tak ingin disebut namanya merasa bernasib sama, rata rata mereka menyesalkan atas kejadian tersebut, bahkan hal itu dinilai sangat tidak profesionalnya Pemkab setempat dalam mengelola manajemen keuangan daerah.
"Persoalan ini pertama kali terjadi sejak Aceh Tamiang berdiri sendiri menjadi kabupaten,dan itu terjadi pada kepimpinan Bupati Mursil. Ini cukup parah," kata Anemer itu.
Atas ketidak beresan tersebut, dirinya bersama rekanan lainnya mengaku akan melakukan gugatan, dan meminta pihak Pemkab setempat segera membayar uang proyek yang telah selesai mereka kerjakan.
"Walaupun kami telah diberi angin segar, bahwa pekerjaan proyek yang telah kami selesaikan itu dibayar pada APBK - P tahun 2020, dan meminta untuk kami bersabar, bagi kami, itu tetap saja bukan solusi yang terbaik, karena itu merupakan hak kami yang wajib mereka bayar pada tahun anggaran yang sama, bukan dibayar pada anggaran tahun 2020 mendatang," ungkapnya.
Yang jelas, sambung rekanan itu, bila proyek telah ditender, kontrak kerja pun ada untuk mengerjakan proyek, bahkan ada pembayaran Dana Pertama (DP) proyek, berarti anggaran untuk membayar penyelesaian proyek pun sudah tentu ada.
Namun ketika dinyatakan uang tersebut tidak ada, dengan alasan dana pembagian hasil daerah dari Pemerintah Pusat (Jakarta) tidak tercapai alias mengalami devisit. "Buat kami alasan itu tidak masuk diakal",
"Kalau memang devisit, mengapa 14 paket yang tidak bisa dibayar itu ditenderkan. Ini kan sudah tidak betul. Persoalan ini seperti telah menipu para rekanan," cetusnya bernada kesal.
L/p: S (Red)
Akibatnya, para Anemer yang telah dirugikan merasa sangat kecewa terhadap kinerja Pemerintahan setempat, mereka menganggap Pemkab Aceh Tamiang sangat tidak Profesional.
Ketidakmampuan membayar sejumlah pekerjaan paket proyek tersebut, diakui Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Aset Daerah (DPPKAD), Yusriati, SE,M.Si, Ak, CA, melalui Kuasa BUD pada DPPKAD setempat, Three Eka Indra Bakti.
Mengingat dana bagi hasil migas antara pusat dan Aceh, tidak mencapai target seperti yang diharapkan. Seperti yang sedang dialami kabupaten Aceh Tamiang, sehingga pencapaiannya mengalami devisit.
"Kejadian itu baru kami terima dari Jakarta, pada tanggal 3 Desember 2019. Penganggaran belanja untuk dana bagi hasil tahun 2019, adalah Rp 116. 874.880.000. Sedangkan total penyaluran hanya mencapai Rp 77.487.771.250, sehingga terjadi kekurangan kas sejumlah Rp 39.387.108.750.
Dan ini lah yang membuat ke 14 proyek tersebut tidak bisa dibayar, karena dikas memang sudah tidak ada uangnya lagi. Meski demikian, kami akan menyelesaikan pembayaran pada APBK - P tahun 2020 mendatang," terang Indra.
Sementara, dilansir dari para Anemer,mereka mengatakan,sejak berdirinya Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang (dimekarkan dari Kabupaten Aceh Timur, tahun 2002), baru kali Pemkab setempat, dibawah kepimpinan Bupati H. Mursil, uang proyek milik sejumlah rekanan (kontraktor) yang menyelesaikan proyek Anggaran Pendapatan Belanja Kabupaten (APBK) Aceh Tamiang, tahun 2019, tidak bisa dibayar oleh Kantor Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Aset Daerah (DPPKAD) setempat.
"Ada 14 paket proyek tender APBK Aceh Tamiang, tahun 2019, di bagian Binamarga pada Dinas Pekerjaan Umum dan Perumah Rakyat (PUPR) yang dikerjakan oleh sejumlah rekanan (kontraktor),
"Pekerjaan-pekerjaan tersebut tidak bisa dibayar oleh Kantor DPPKAD setempat,Kemana uang itu, kami pun tidak tau," terang salah seorang rekanan yang tak ingin disebut namanya di Karang Baru, Senin, 29 Desember 2019, yang mengaku dua proyek tender yang selesai ia kerjakan, tidak dibayar oleh DPPKAD.
Ditambahkan rekanan itu, dua paket proyek yang dikerjakannya itu jumlah anggarannya mencapai Rp 1,7 Miliar,
Akibat adanya hal itu,dirinya merasa dirugikan baik secara moral maupun meteri, sehingga berdampak pada hilangnya kepecayaan para pekerja dan terganggunya managemen keuangan pada perusahaan miliknya.
"Dirugikan secara moralnya, karena banyak gaji pekerja yang belum saya bayar, sehingga saya malu pada para pekerja. Dirugikan secara materi, ya sudah pasti, modal yang saya keluarkan begitu besar nilainya belum kembali. Sehingga managemen keuangan Perusahaan saya menjadi tidak sehat," keluhnya.
Rekanan lain yang juga tak ingin disebut namanya merasa bernasib sama, rata rata mereka menyesalkan atas kejadian tersebut, bahkan hal itu dinilai sangat tidak profesionalnya Pemkab setempat dalam mengelola manajemen keuangan daerah.
"Persoalan ini pertama kali terjadi sejak Aceh Tamiang berdiri sendiri menjadi kabupaten,dan itu terjadi pada kepimpinan Bupati Mursil. Ini cukup parah," kata Anemer itu.
Atas ketidak beresan tersebut, dirinya bersama rekanan lainnya mengaku akan melakukan gugatan, dan meminta pihak Pemkab setempat segera membayar uang proyek yang telah selesai mereka kerjakan.
"Walaupun kami telah diberi angin segar, bahwa pekerjaan proyek yang telah kami selesaikan itu dibayar pada APBK - P tahun 2020, dan meminta untuk kami bersabar, bagi kami, itu tetap saja bukan solusi yang terbaik, karena itu merupakan hak kami yang wajib mereka bayar pada tahun anggaran yang sama, bukan dibayar pada anggaran tahun 2020 mendatang," ungkapnya.
Yang jelas, sambung rekanan itu, bila proyek telah ditender, kontrak kerja pun ada untuk mengerjakan proyek, bahkan ada pembayaran Dana Pertama (DP) proyek, berarti anggaran untuk membayar penyelesaian proyek pun sudah tentu ada.
Namun ketika dinyatakan uang tersebut tidak ada, dengan alasan dana pembagian hasil daerah dari Pemerintah Pusat (Jakarta) tidak tercapai alias mengalami devisit. "Buat kami alasan itu tidak masuk diakal",
"Kalau memang devisit, mengapa 14 paket yang tidak bisa dibayar itu ditenderkan. Ini kan sudah tidak betul. Persoalan ini seperti telah menipu para rekanan," cetusnya bernada kesal.
L/p: S (Red)