Notification

×

Iklan

Iklan

Bobroknya Infrastruktur Politik Hingga Warga Terbawa Panik

Minggu | 5/30/2021 WIB Last Updated 2021-05-30T02:58:47Z



Jakarta - Satu-satunya hal yang harus kita takuti adalah rasa takut itu sendiri, karena rasa takut akan mempengaruhi mental seseorang. Dan ketakutan membuat kita semua tak berdaya. Takkan ada spirit perjuangan. Implikasinya akan terlihat pada watak atau karakter bangsa Indonesia. Ketakutan itu tumbuh dengan diiringi rasa pesimistik masyarakat Indonesia terhadap negara yang dalam hal ini adalah Pemerintah yang lamban dalam mengatasi persoalan yang tengah berkembang saat ini. Betapa kontrasnya kekhawatiran, keresahan, dan ketakutan tersebut menyelimuti bangsa ini.


Indonesia termasuk negara yang sering diisukan sebagai failed state. Hal yang dimaksudkan adalah bahwa pemerintah lambat merespon dalam menangani persoalan yang bersifat prinsipil yang memungkinkan problematika ini mempengaruhi masa depan dan arah bangsa kedepannya. Seperti halnya isu mengenai disintegrasi bangsa akibat gap yang muncul di segala segmentasi yang sudah sangat lama menjadi konsumsi publik. Diskursus terbesar adalah persoalan krisis ekonomi, hutang negara, konflik sosial-politik, dan konflik agama menjadi titik api yang dapat membakar dan menghanguskan Indonesia. Mungkin fenomena  atau situasi yang tengah terjadi di Indonesia hari ini merupakan The Great Disruption (Buku: Francis Fukuyama-Great Disruption).


Penulis berasumsi bahwa titik persoalan terbesar yang dapat membawa keterpurukan bagi Indonesia adalah tidak terbukanya pemerintah untuk membuka ruang dialog bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi atas kondisi negara yang tidak kondusif. Puncaknya masyarakat akan semakin antipati dengan menunjukkan kekecewaan dan kekesalan terhadap pelbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. 


Banyak politikus menjalani hidup memilih asal beda, dengan memutuskan kebiijakan yang dinilai sangat tidak masuk akal hanya untuk mempertahankan kekuasaannya. Mereka membangun infrastruktur politik dengan menempatkan orang-orang yang bukan berdasarkan value of competitions, atau kapasitas untuk menentukan nasib dan arah kehidupan bangsa semakin baik.


Apakah negara ini rapuh dan mengidap sensitif “kerentanan?"

 

Memang politik itu melelahkan dan selalu membawa kegaduhan. Terlebih lagi komunikasi politik para politikus payah, dikarenakan segala bentuk komunikasi harus bersifat transaksi. Rakyat lagi-lagi geram terlebih dengan isu yang mengguncang pelemahan sebuah institusi seperti halnya KPK yang sedang menuju kepunahan dengan segala simpang siurnya keputusan-keputusan yang menyebabkan dikotomi di internalnya. kemudian betapa kesalnya masyarakat terhadap kebijakan Bank di bawah naungan BUMN telah memberlakukan kebijakan bahwa pengecekan saldo beserta penarikan uang tunai di platform mesin ATM Bersama harus dikenakan potongan.


Politik negeri kita yang sudah begitu melelahkan kini pada taraf menyebalkan. Banyak pemegang amanat negeri ini bicara, berprilaku, dan bertindak semanuanya. Serangkaian fenomena yang terjadi belakangan ini sudah cukup menggambarkan tentang kehancuran moral politik Indonesia. Seharusnya dalam hal ini peran aktif diambil oleh DPR sebagai wakil yang mampu mengawasi, mengontrol secara kuat, termasuk mengawasi akselerasi pembangunan, pembenahan, dan perbaikan sistem manajemen operasional di segala segmentasi yang dilakukan Pemerintah (eksekutif).

Dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, DPR satu-satunya Lembaga yang getol untuk merevisi. Kemudian, disusul dengan Menkumham Yasonna Laoly memasukkan revisi UU itu dalam Prolegnas 2015. Rasanya begitu aneh pemerintah hendak merevisi UU itu. Kalua DPR, tentu bukan berita baru.


DPR tak pernah berhenti berkonfrontasi dengan KPK. Sekarang ini, apa pun motif kebijakan yang dikeluarkan terlihat sebagai pelemahan KPK. Seperti yang baru-baru saja terjadi mengenai seleksi kembali para PNS/pegawai KPK yang dipertanyakan tentang nasionalisme dengan menggelar TWK (Tes Wawasan Kebangsaan) yang sebenarnya hal tersebut tidak terlalu substantif dan tidak memiliki urgensi. Keanehan pun kembali terjadi. Dan upaya untuk mempertahankan kekuasaan sih dimaklumi saja.


Menonton adegan-adegan politik belakangan ini sungguh menguras energi: menerusnya kegaduhan politik, likuiditas makin menurun, program PEN yang dipertanyakan atas keterbukaan dan progresivitasnya, hutang yang kunjung kembali mencekik sendi perekonomian dan keuangan negara, disrupsi dan lemahnya sistem operasional digital  yang dapat melumpuhkan sekuritas data yang berisikan identitas warga negara hingga banyak aksi kriminalitas bermotif siber, hingga yang sangat disayangkan pemerintah tidak memperbaharui data yang berujung pada kasus sembilan puluh tujuh ribu PNS fiktif yang masih menerima gaji, dan bermasalahnya data Bansos.


Revolusi mental mungkin terpental. Terjebak pada labirin kegaduhan dan “ruwet”. Barangkali inilah akibat, yang menurut T. Hobbes bellum omnium contra omnes (manusia saling bermusuhan). Entah mengapa belakangan ini dirasa demokrasi kita terasa mobokrasi. Negara kita terjangkit “ketidaknormalan” dan hal ini kontras berdasarkan konstalasi dan dinamika yang berkembang, seiring dengan kebijakan yang begitu kontroversi. Pemerintah bisa apa? Harus memulainya dari mana? Akankah hal ini akan berakhir seperti yang diprediksikan Francis Fukuyama dalam bukunya yang berjudul The End of History? Atau kondisi Indonesia kali ini sedang di "gonjang-ganjing" seperti yang dikatakan John Perkins dalam bukunya The Confession of Economic Hit Man? Rasanya tak seorang pun mengetahui, namun persoalan ini tentunya dapat diukur dan ditarik benang merahnya.


Dalam hal mengelola negara butuh keseriusan yang extraordinary, integritas  dan  kecermatan dalam menerapkan strategi. Kendati demikian, urgensi utama ada pada kemampuan seorang pemimpin dalam menseleksi SDM (the right man in the right place) yang juga memiliki komitmen tinggi untuk menyelesaikan  problematika tersebut.

Di akhir tulisan ini, Penulis berharap bahwa para politikus di Indonesia bisa menjadi pribadi yang bisa diistilahkan dalam bahasa Yunani kuno sebagai homo homini socius (menganggap semua manusia adalah kawan) dan  tak salah rasanya penulis mengingatkan pesan Khalifah Ali bin Abi Thalib: “Penghianatan terbesar adalah pengkhianatan terhadap umat (rakyat), dan penipuan (spekulasi) paling kejam dilakukan para pemimpin”. Maka, jangan salahkan rakyat mencari caranya sendiri. Sebab, satu-satunya “kemewahan” yang dimiliki rakyat adalah janji lima tahun sekali yang hari ini dirampas haknya.


Ditulis oleh: Emyr Mochammad Noor

Koordinator Pusat Angkatan Muda Pegiat Sosial

×
NewsKPK.com Update